Tekhnologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang
sudah berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi
pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi
bahan makanan pokok asal serealia.
Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas
(bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan
produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut
dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik
ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan
tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut
Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi
serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Grakan ini berhasil
menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan
Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi
Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk
menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan
secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara
tahun 1984 – 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan
terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata
Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih
dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara
negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan,
keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang,
akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai
dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian
revolusi hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya
sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan
dan kesuburan tanah.
B.Pestisida dan Pupuk Buatan
Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit,
gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang
menyebabkan kanker. Bahkan jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan
minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya
mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Penggunaan pestisida
juga menyebabkan terjadinya peledakan hama —suatu keadaan yang
kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida— karena pestisida dalam
dosis berlebihan menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh
alami hama yang bersangkutan.
Namun, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian
petani. Mereka tidak paham akan bahaya pestisida. Hal ini disebabkan
karena informasi yang sampai kepada mereka adalah ‘jika ada hama,
pakailah pestisida merek A’. para petani juga dibanjiri impian tentang
produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para
penyuluh pertanian adalah ‘antek-antek’ pedagang yang mempromosikan
keajaiban teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah
menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak
dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi
bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan
mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat
makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman.
Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan
dari tahun ke tahun terus menurun.
C.Revolusi Hijau dan Dampak Buruknya
Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari
Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil
produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai
sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan
ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun
keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa
pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia
pertanian.
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade
1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan
pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya.
Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade
1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan
tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan
pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah
Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya
telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida
diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang
justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping
itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih
lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya
penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung
meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan
kegairahan bertani.
Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:
Berbagai organisme penyubur tanah musnah
Kesuburan tanah merosot / tandus
Tanah mengandung residu (endapan pestisida)
Hasil pertanian mengandung residu pestisida
Keseimbangan ekosistem rusak
Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.
Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani.
Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya
tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup
manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau,
petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah
disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada
pupuk dan pestisida kimia —yang membuat banyak petani terlilit hutang.
Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi
lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan
pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat
berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan
rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah).
Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen
pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau
memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak
ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu
semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi
pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang.
Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi
yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari
genetika sampai kimia terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor
pertanian alami di Jepang, pernah berkata: “Peranan ilmuwan dalam
masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam
pikiran-pikiran Anda sendiri.”. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi
Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena
penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia
tidak selalu mensejahterakan petani padi
VISI DAN MISI SMAN 6 KOTA BANDUNG
5 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar